STRATEGI PENGEMBANGAN ILMU DAN
KEBUDAYAAN
A.
Berbagai
Pandangan Tentang Ilmu
Teori
ilmu berasal dari beberapa cara yang kuat dari fakta tentang pengalaman
diperoleh dari observasi dan pengalaman. Ilmu didasarkan atas apa yang dapat
kita lihat, dengar, dan sentuh. Pendapat pribadi dimulai dari imajinasi
spekulatif adalah tidak mempunyai tempat pada ilmu. Karena ilmu adalah
objektif. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang terukur/andal, sebab ilmu
secara objektif merupakan pengetahuan yang dibuktikan atau teruji (Chalmers,
1976).
Ada tiga alasan yang meyakinkan para
induktivis, yaitu:
1) Jumlah
pernyataan observasi membentuk dasar dari generalisasi yang harus diperluas.
2) Observasi
harus diulang atas keragaman yang luas dari keadaan.
3) Pernyataan
observasi tidak diterima yang dipertentangkan dengan hokum universal yang
diturunkan.
B. Memantapkan Kedudukan Ilmu
Ada
kecenderungan mendikotomo secara kejam antara induksi dan deduksi dalam
penemuan teori atau hokum dalam kegiatan ilmiah. Menurut hemat penulis, dalam
era pra positivistic peranan observasi yang berulang-ulang dalam bentuk
pengumpulan fakta-fakta terhadap fenomena alam sangat penting sebagai langkah
awal untuk membangun struktur pengetahuan yang kemudian menjadi ilmu.
Kasus-kasus dikumpulkan menjadi proposisi, kemudian dibangun hipotesis dan
disimpulkan sebagai teori.
Belakangan
berkembang pendekatan post-positivistik dalam pendekatan kualitatif dalam
menggunakan logika induksi merupakan rangkaian dari perkembangan pengetahuan
manusia menuju pengetahuan ilmiah. Pendekatan yang satu mendukung yang lain.
Filsafat
ilmu bertujuan untuk mencari hakikat wujud ilmu. Kajian harus mencakup
ontologi, epistimologi maupun aksiologi ilmu. Bagaimanapun, ilmu merupakan
pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan metode ilmiah. Suatu kebenaran
pengetahuan yang dibuktikan melalui fakta yang diperoleh dari pengamatan,
pengalaman dan percobaan sehingga melahirkan teori atau hokum terteentu sesuai
objeknya.
Pada
pokonya pengetahuan ilmiah dimulai dari kegiatan logika induktif yang faktanya
dikumpulkan dari berbagai kasus, penjelasan fakta dari pengalaman yang
dijumlahkan menjadi satu proposisi menuju hipotesis dan teori atau hokum.
Kemudian dilakukan pembuktian terhadap kebenaran teori, atau hokum dengan
menggunakan logika deduktif yang mengkonfirmasikannya terhadap fakta-fakta
dalam dimensi empiris manusia adlah proses selanjutnya dalam penemuan ilmu
pengetahuan.
Sikap
ilmiah para ilmuwan harus membuka diri bagi penerapan metodologi baru sepanjang
sesuai dengan problem yang diajukan dalam mencari pemecahan masalah secara
ilmiah melalui penelitiannya. Jika hal ini bisa dibangun, maka dimungkinkan
akan muncul penelitian-penelitian cerdas dan bukan hanya pengulangan variabel
memunculkan kejenuhan dan kegersangan karya ilmiah, meskipun replikasi
dimungkinkan sebagai tangga bagi falsifikasi.
C. Tanggung Jawab Kultural
Epistimologi
berkaitan dengan kreativitas manusia dalam tataran budaya berpikir, termasuk
metode dan proses serta apa yang dihasilkannya sebagai kebenaran. Bagi
epistimologi, kriteria kebenaran muncul ketika dipahami bahwa diperoleh melalui
teori koherensi dan korespondensi.
Sedangkan
proses pembuktiaan secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang
mendukung suatu pernyataan tertentu mempergunakan teori kebenaran yang disebut
kebenaran pragmatis sebagaimana diajukan Charles S. Pierce (1839-1914). Bagi
seorang pragmatis maka kebenaran atau pernyataan diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu
pernyataan adalah benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan
itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
Filsaat
ilmu merupakan kesadaran akan pengetahuan dalam setiap tindakan pengetahuan
dalam refleksi mempertanggungjawabkan pengetahuan sebagai kebenaran ilmiah.
Dalam mempertanggungjawabkan pengetahuan ada dua model pendekatan yang
digunakan, yaitu: (1) manusia mendekati objek pengikniahan atau pengetahuan
ilmiah sebagai abstraksi kenyataan, (2) mau mengerti terhadap susunan
keniscayaan (kepastian).
Posisi
epistimologi sangat menentukan dalam strategi kebudayaan, karena cabang
filsafat ini membicarakan hakikat pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan,
syarat-syarat mememperoleh pengetahuan, kebenaran dan kepastian dalam
pengetahuan serta hakikat kehendak dan kebebasan manusia dalam
pengetahuan.epistimologi merupakan bagian dari kebudayaan yang berkaitan dengan
sistem nilai (value system).
Epistimologi berhubungan dengan kultur, dan pengetahuan menjadi bagian dari
kebudayaan.
D. Berpikir Ilmiah
Berpikir,
sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu adalah sebagai suatu rangkaian
aktivitas akal budi (rasio) manusia untuk mencapai kebenaran yang ril dan
objektif (Kafie, 1989: 90). Dengan adanya rangkaian akal budi dalam rangka
memperoleh ilmu pengetahuan itulah yang disebut berpikir ilmiah. Berpikir
ilmiah merupakan tahapan ketiga dari kerangka berpikir setelah kita berpikir
biasa dan berpikir logis. Maka perlu ditegaskan bahwa pengetahuan ilmiah bukan
pengetahuan yang datang sedemikian begitu saja sebagai barang yang sudah siap
dan muncul dari dunia fantasi. Tetapi, pengetahuan ilmiah itu merupakan hasil
proses belajar dan berpikir secara radikal terhadap sekumpulan
pengetahuan-pengetahuan tertentu yang eleven dan sejenis yang universal dan
kumulatif.
Langkah-langkah berpikir ilmiah:
1) Objektif
a. Metode
inter subjektif (untuk semua orang yang berminat)
b. Bebas
dari sifat prasangka
c. Pembuktian
d. Kebenaran
didukung oleh bukti-bukti nyata
e. Bebas
dari penilaian yang bersifat subjektif
2) Rasional
a. Diarahkan
oleh peraturan-peratuan penalaran yang telah dianut dan diterima
b. Susunan
yang sistematis dari fakta-fakta (proses yang satu dengan yang lain dihubungkan
oleh prinsip-prinsip penalaran logis)
c. Kritik
pribadi, menganalisis diri sendiri
d. Skeptis
terhadap ide-ide yang ada maupun tidak yang baru dan selalu meneliti kembali
fakta-fakta yang telah diterima
3) Sistematis
a. Berlangsung
dalam cara yang teratur, tidak acak-acakan atau asal jadi
b. Kesimpulannya
disusun secara rapid an teratur
c. Tidak
bertentangan tetapi konsisten internal/ beragam teori harus saling menunjang
4) Generalisasi
Proses
berpikir melalui penyelidikan atas fenomena-fenomena yang khusus dalam jumlah
yang cukup banyak untuk menuju kepada suatu kesimpulan umum mengenai semua hal
yang terlibat.
E. Sikap Ilmiah
Sikap ilmiah harus dimiliki oleh para
ilmuwan, karena sikap ilmiah ini merupakan suatu sikap yang diarahkan untuk
mencapai pengetahuan ilmiah. Sikap adalah manifestasi operasionalisasi jiwa.
Sikap ilmiah ini antara lain Nampak pada sikap, yaitu:
1) Objektif
Sikap
objektif ini diartikan sebagai sikap menyisihkan prasangka-prasangka pribadi (personal
bias) atau kecenderungan yang tidak beralasan. Dengan kalimat lain, dapat
melihat secara riil apa asanya mengenai kenyataan objek. Sikap objektif bias
juga dikatakan kepada sikap tanpa pamrih. Sebab betapapun kecilnya pamrih yang
tersertakan dalam suatu peninjauan tentu akan dapat memutar balikkan keadaan
yang sebenarnya, bahkan menimbulkan arbitrarisme atau sliptisisme.
2) Serba
relatif
Ilmiah
tidak mempunyai maksud untuk mencari kebenaran mutlak. Ilmu tidak mendasarkan
kebenaran ilmiahnya atas beberapa postulat yang secara apriori dalam ilmu
sering digunakan oleh teori-teori lain. Dan boleh dikatakan bahwa tujuan
penelitian ilmiah itu adalah terutama untuk menggugurkan teori-teori sebelumnya
yang sudah diterima. Sikap ini juga disebut sebagai sikap selektif dan sikap
kritis.
3) Skeptis
Sikap
skeptis adalah selalu ragu terhadap pernyataan-pernyataan yang belum cukup kuat
dasar bukti, fakta-fakta maupun persaksian-persaksian autoritas dengan diikuti
sikap untuk dapat menyusun pemikiran-pemikiran baru. Atau sikap ini diartikan
juga sebagai sikap tidak cepat puas dengan jawaban tunggal.
4) Kesabaran
Intelektual
Sikap ini juga
diartikan sebagai sikap berani memperjuangkan kebenaran dan bahkan
mempertahankannya disertai rasa percaya diri yang wajar (tanpa paksaan atau
pesan dari sponsor), baik terhadap kebenaran yang berupa fakta, maupun
kebenaran hasil penelitiannya sendiri atau kebenaran hasil karya orang lain.
Sikap ini menimbulkan suatu kebulatan dalam cara berpikir dan bertindak dan
menimbulkan konsistensi dalam menyatakan pendapat.
5) Kesederhanaan
Sikap sederhana
adalah sikap tengah-tengah antara kesombongan intelektual dan stagnasi atau
antara superioritas dan minder atau antara terlalu optimis dan pesimistis.
Termasuk sikap sederhana adalah sikap terbuka bagi semua kritikan, berjiwa
besar dan lapang dada, tidak emotif atau egosentris, rendah hati dan tidak
fanatic buta, tetapi penuh toleransi terhadap hal-hal yang diketahuinya maupun
yang belum diketahuinya.
6) Tidak
Memihak pada Etik
Sikap tidak
memihak pada etik dalam mempelajari ilmu maupun dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan, artinya bahwa ilmu itu tidak mempunyai tujuan untuk pada akhirnya
membuat penilaian baik-buruk, karena hal itu adalah menjadi wewenang ilmu
akhlak (etika) yang menyangkut cara bertingkah laku.
7) Menjangkau
Masa Depan
Sikap ini
mendorong dirinya untuk selalu bersikap penasaran dalam mencari kebenaran dan
tidak puas dengan apa yang ada padanya, juga tidak lekas berputus asa atau
tidak kenal frustasi.
Mksih , blog ny sngat membantu
ReplyDelete