PERSPEKTIF
ISLAM TENTANG SAINS DAN TEKNOLOGI
A. Kritik atas Sains Modern
Sejalan
dengan munculnya kritik atas dampak sains modern, telah lama pula orang
mengkritik sains itu sendiri. Kritik atas beberapa aspek sains modern, misalnya
positivism, bahkan telah muncul jauh sebelumnya.
Kritik
pertama adalah bahwa sains modern dalam banyak hal tidak membantu kita dalam
memahami alam. Pendekatan analitis sains (reduksionisme) membawa pada gambaran
realitas yang salah. Pendekatan analitis ini memecahkan masalah menjadi
unit-unit paling sederhana, memeriksanya lalu menyusunnya kembali menjadi
kesatuan seperti yang disarankan oleh Descartes tak dapat berguna dengan baik
jika berurusan dengan objek-objek kompleks seperti benda hidup, karena
keseluruhan lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya.
Itu
sebabnya sains lalu menjadi terbatas. Banyak permasalahan dunia dan manusia
lolos dari analisis sains. Dalam kajian tentang manusia, misalnya sains modern
dengan penekanannya pada unit, kelompok dan populasi daripada individu; pada
pemisahan daripada keterlibatan memiliki cacat yang cukup serius. Di sini
muncul kebutuhan untuk membuat sains lebih bersifat menyeluruh dan fleksibel.
B. Islam dan Sains
Salah
satu cirri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya
terhadap masalah ilmu. Al-qur’an dan As-sunnah mengajak kaum muslimin untuk
mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan serta menempatkan orang-orang yang
berpengetahuan pada derajat yang tinggi.
Metode
ilmiah tidak lain terdiri dari dua pendekatan, yaitu pendekatan deduktif dan
pendekatan induktif. Perintah Allah untuk memperhatikan kenyataan alam, dan
proses kejadiannya itu adalah perintah untuk mengembangkan metode induktif
sehingga dengan demikian umat Islam harusnya telah mengembangkan dengan jauh
metode-metode observasi, metode klasifikasi data dan informasi, metode
sistematis data dan pendekatan genelarisasi empiris (A.M. saefuddin, 1986:
16)..
Ada lima pendekatan Islam terhadap
Sains, demikian dikemukakan oleh Rahmat (1989: 48), yaitu:
1) Menunjukkan
bagaimana Islam mendorong, membangkitkan, merangsang, dan mengilhami penemuan
sains dan teknologi.
2) Mengulas
sumbangan umat Islam bagi perkembangan sains dan teknologi.
3) Membahas
secara falsafi nisbah Islam, sains dan teknologi.
4) Menentukan
apakah ada sains dalam Islam, bagaimana bentuk sains dan teknologi yang islami.
5) Menggambarkan
bagaimana perkembangan sains dan teknologi dewasa ini. Lalu apa yang harus
dilakukan oleh umat Islam.
Hubungan
sains dan keimanan lebih jauh dalam ungkapan yang menarik dinyatakan Mutahhari
bahwa, “sains member kita kekuatan dan pencerahan dan keimanan member cinta,
harapan, dan kehangatan”. Tujuan dari pengembangan metode ilmiah adalah
pemahaman (understanding) dan
kemudian berdasarkan pemahaman itu memanfaatkan rahmat Allah, atau ayat-ayat Allah
(tertulis dan tidak tertulis) sebagai sarana dan proses alamiah untuk
kebahagiaan hidup manusia dan untuk mengembangkan teori-teori yang lebih maju
lagi.
Pengembangan
sains menurut Baiquni (1996) justru diperintahkan Allah swt agar manusia dapat
mamahami ayat-ayat al-qur’an lebih sempurna sehingga tampak kebesaran dan
kekuasan-Nya secara lebih nyata dan supaya kita dapat menguasai pengetahuan
tentang sifat dan kelakuan alam sekitar, dapat mengelola alam yang kita huni
seperti layaknya seorang khalifah yang bijaksana.
C. Etika dan Sains
Saat
ini diseluruh dunia, akhirnya timbul kesadaran baru betapa pentingnya
memperhatikan etika dalam pengembangan sains. Di Negara-negara maju telah
didirikan lembaga-lembaga pengawal moral untuk sains. Ternyata sains tidak bisa
dibiarkan lepas dari etika, kalau tidak ingin senjata makan tuan.
Sebagai
seorang muslim, tentu saja pilihan etika adalah etika Islam. Hal ini bukan
karena konsekuensi iman saja, tetapi juga karena etika Islam sanggup menjawab
tantangan kehidupan modern. Etika Islam bukan sekedar teori, tetapi juga pernah
dipraktikkan oleh sejumlah manusia dalam suatu zaman sehingga mereka muncul
sebagai penyelamat dunia dan pelopor peradaban. Etika Islam berbeda dengan
etika lain, mempunyai sosok dalam diri Muhammad saw menjadi teladan yang indah
dalam konteks etika Islam (Rahmat, 1989: 160).
Manusia
sebagai makhluk berakal dalam tindakan dan perbuatannya didorong sesuatu yang
hendak dicapainya. Formulasi sesuatu yang ingin dicapai manusia dalam
tindakannya adalah berisikan nilai-nilai (Gazalba, 1978: 93). Dijelaskannya,
bahwa pengetahuan dibentuk oleh penuturan, dan yang melakukan penuturan adalah
akal budi. Sedangkan penilaian dibentuk oleh penghayatan, dan yang melakukannya
adalah kalbu. Organ budi adlah otak, sedangkan organ kalbu adlah hati.
Kerjasama antara budi dan kalbu kita sebut akal. Hanya pada manusia, otak itu
berfungsi berpikir dan hati itu menghayati.
1. Pemilihan
Masalah Ilmiah
Proses
ilmiah dimulai ketika ilmuwan menyeleksi fenomena alamiah untuk ditelaah. Hal
yang akan diseleksi ditentukan oleh konsepsinya tentang apa yang penting dan
mengapa fenomena tertentu bemakna (signifikan). Ia harus memutuskan, penting
buat siapa? Apakah buat dirinya, masyarakat, dunia bisnis, negara atau buat
umat manusia keseluruhan? Bolehkah suatu penelitian ilmiah dijalankan dengan
mengorbankan orang-orang di masa ini, tetapi memberikan kebahagiaan orang-orang
di masa akan datang; atau membahagiakan orang-orang sekarang, tapi mengorbankan
saudara-saudara kita di masa akan datang?.
Pertanyaan-pertanyaan
di atas harus dijawab dengan melibatkan pertimbangan nilai dengan kata lain
merujuk ke etika. Sejatinya, tidak ada kegiatan ilmuwan yang tidak didasarkan
kepada etika tertentu. Bukankah etika ilmuwan mempunyai upaya ilmiah, ia didorong
untuk tujuan-tujuan tertentu, mencari kebenaran, meningkatkan karir, memuliakan
kehidupan, memelihara lingkungan, atau hanya sekedar mencari uang. Bila seorang
ilmuwan memandang kebajikan tiggi ialah penemuan kebenaran ilmiah maka ia kan
memilih masalah yang menarik baginya, walaupun mungkin masalah itu dapat
menimbulkan bencana sosial.
2. Etika
dalam Penelitian Ilmiah
Ketika
melakukan penelitian, ilmuwan harus memperhatikan prosedur penelitian yang
dilakukannya. Kalau penelitiannya berkenaan dengan manusia maka apakah
penelitian itu menimbulkan kerugian bagi subjek penelitian, apakah anomitas dan
konfidensialitas mereka dijamin, apakah mereka ditipu atau dijebak untuk
menjadi peserta penelitian. Paling tidak sebagai peneliti ilmiah, ia harus
mempertahankan kejujuran, keterbukaan dan kesungguhan hati; menghindarkan
manipulasi data (dalam arti negatif), pemalsuan informasi, dan lain-lain yang
meruntuhkan arti sains itu sendiri (Rahmat, 1986: 164).
3. Etika
dalam Keputusan Ilmiah
Setelah
penelitian selesai dilakukan, ilmuwan harus memutuskan apakah hipotesis ditolak
atau diterima. Sejauh manakah kesalahan dapat ditolerir? Apakah dasar
pertimbangannya?. Misal, suatu jenis obat akan dipasarkan. Untuk meneliti efek
sampingnya, obat ini dicobakan dulu pada sapi. Bila lima persen dari sapi itu
mati, karena keracunan obat, maka pakah kita harus menolak hipotesis nol yang
menyatakan tidak ada pengaruh obat itu pada sapi, atau menerima hipotesis
alternative yakni bahwa obat itu berpengaruh pada sapi.
4. Etika
dalam Penerapan Nilai
Ilmu
terapan di sini dianggap sinonim dengan teknologi seperti yang dikemukakan
Mario Bunge, bila tujuan upaya ilmiah itu semata-mata bersifat kognitif
(menambah informasi) maka yang lahir ialah ilmu murni (pure science), bila tujuannya terutama sekali adalah hal-hal yang
praktis, maka yang lahir adalah ilmu terapan (applied science).
Bagi
Yacob (1988: 73) ada beberapa implikasi etis perkembangan teknologi, maka harus
ada usaha-usaha yang strategic dalam mencegah degeneratif atau pengaruh
negative teknologi, yaitu:
a. Rehumanisasi
b. Kemampuan
memilih
c. Arah
perkembangan kemajuan
d. Revitalisasi
Berkenaan
dengan sains dan etik, Baiquni (1996: 145) mengingatkan bahwa mendidik
seseorang untuk berlaku jujur jauh lebih sukar daripada mengajarnya untuk dapat
melakukan perhitungan aljabar. Sebab, sekali ia tahu cara hitungnya ia akan
mampu seterusnya, sedangkan orang yang jujur selalu mendapat godaan pada
saat-saat tertentu untuk berlaku tidak jujur meskipun baginya jelas bahwa
dorongan itu menjurus kea rah penyelewengan.