Showing posts with label Filsafat Ilmu. Show all posts
Showing posts with label Filsafat Ilmu. Show all posts

Tuesday, January 1, 2013

PERSPEKTIF ISLAM TENTANG SAINS DAN TEKNOLOGI

PERSPEKTIF ISLAM TENTANG SAINS DAN TEKNOLOGI
A.  Kritik atas Sains Modern
Sejalan dengan munculnya kritik atas dampak sains modern, telah lama pula orang mengkritik sains itu sendiri. Kritik atas beberapa aspek sains modern, misalnya positivism, bahkan telah muncul jauh sebelumnya.
Kritik pertama adalah bahwa sains modern dalam banyak hal tidak membantu kita dalam memahami alam. Pendekatan analitis sains (reduksionisme) membawa pada gambaran realitas yang salah. Pendekatan analitis ini memecahkan masalah menjadi unit-unit paling sederhana, memeriksanya lalu menyusunnya kembali menjadi kesatuan seperti yang disarankan oleh Descartes tak dapat berguna dengan baik jika berurusan dengan objek-objek kompleks seperti benda hidup, karena keseluruhan lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya.
Itu sebabnya sains lalu menjadi terbatas. Banyak permasalahan dunia dan manusia lolos dari analisis sains. Dalam kajian tentang manusia, misalnya sains modern dengan penekanannya pada unit, kelompok dan populasi daripada individu; pada pemisahan daripada keterlibatan memiliki cacat yang cukup serius. Di sini muncul kebutuhan untuk membuat sains lebih bersifat menyeluruh dan fleksibel.
B.  Islam dan Sains
Salah satu cirri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu. Al-qur’an dan As-sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat yang tinggi.
Metode ilmiah tidak lain terdiri dari dua pendekatan, yaitu pendekatan deduktif dan pendekatan induktif. Perintah Allah untuk memperhatikan kenyataan alam, dan proses kejadiannya itu adalah perintah untuk mengembangkan metode induktif sehingga dengan demikian umat Islam harusnya telah mengembangkan dengan jauh metode-metode observasi, metode klasifikasi data dan informasi, metode sistematis data dan pendekatan genelarisasi empiris (A.M. saefuddin, 1986: 16)..
Ada lima pendekatan Islam terhadap Sains, demikian dikemukakan oleh Rahmat (1989: 48), yaitu:
1)   Menunjukkan bagaimana Islam mendorong, membangkitkan, merangsang, dan mengilhami penemuan sains dan teknologi.
2)   Mengulas sumbangan umat Islam bagi perkembangan sains dan teknologi.
3)   Membahas secara falsafi nisbah Islam, sains dan teknologi.
4)   Menentukan apakah ada sains dalam Islam, bagaimana bentuk sains dan teknologi yang islami.
5)   Menggambarkan bagaimana perkembangan sains dan teknologi dewasa ini. Lalu apa yang harus dilakukan oleh umat Islam.
Hubungan sains dan keimanan lebih jauh dalam ungkapan yang menarik dinyatakan Mutahhari bahwa, “sains member kita kekuatan dan pencerahan dan keimanan member cinta, harapan, dan kehangatan”. Tujuan dari pengembangan metode ilmiah adalah pemahaman (understanding) dan kemudian berdasarkan pemahaman itu memanfaatkan rahmat Allah, atau ayat-ayat Allah (tertulis dan tidak tertulis) sebagai sarana dan proses alamiah untuk kebahagiaan hidup manusia dan untuk mengembangkan teori-teori yang lebih maju lagi.
Pengembangan sains menurut Baiquni (1996) justru diperintahkan Allah swt agar manusia dapat mamahami ayat-ayat al-qur’an lebih sempurna sehingga tampak kebesaran dan kekuasan-Nya secara lebih nyata dan supaya kita dapat menguasai pengetahuan tentang sifat dan kelakuan alam sekitar, dapat mengelola alam yang kita huni seperti layaknya seorang khalifah yang bijaksana.
C.  Etika dan Sains
Saat ini diseluruh dunia, akhirnya timbul kesadaran baru betapa pentingnya memperhatikan etika dalam pengembangan sains. Di Negara-negara maju telah didirikan lembaga-lembaga pengawal moral untuk sains. Ternyata sains tidak bisa dibiarkan lepas dari etika, kalau tidak ingin senjata makan tuan.
Sebagai seorang muslim, tentu saja pilihan etika adalah etika Islam. Hal ini bukan karena konsekuensi iman saja, tetapi juga karena etika Islam sanggup menjawab tantangan kehidupan modern. Etika Islam bukan sekedar teori, tetapi juga pernah dipraktikkan oleh sejumlah manusia dalam suatu zaman sehingga mereka muncul sebagai penyelamat dunia dan pelopor peradaban. Etika Islam berbeda dengan etika lain, mempunyai sosok dalam diri Muhammad saw menjadi teladan yang indah dalam konteks etika Islam (Rahmat, 1989: 160).
Manusia sebagai makhluk berakal dalam tindakan dan perbuatannya didorong sesuatu yang hendak dicapainya. Formulasi sesuatu yang ingin dicapai manusia dalam tindakannya adalah berisikan nilai-nilai (Gazalba, 1978: 93). Dijelaskannya, bahwa pengetahuan dibentuk oleh penuturan, dan yang melakukan penuturan adalah akal budi. Sedangkan penilaian dibentuk oleh penghayatan, dan yang melakukannya adalah kalbu. Organ budi adlah otak, sedangkan organ kalbu adlah hati. Kerjasama antara budi dan kalbu kita sebut akal. Hanya pada manusia, otak itu berfungsi berpikir dan hati itu menghayati.
1.      Pemilihan Masalah Ilmiah
Proses ilmiah dimulai ketika ilmuwan menyeleksi fenomena alamiah untuk ditelaah. Hal yang akan diseleksi ditentukan oleh konsepsinya tentang apa yang penting dan mengapa fenomena tertentu bemakna (signifikan). Ia harus memutuskan, penting buat siapa? Apakah buat dirinya, masyarakat, dunia bisnis, negara atau buat umat manusia keseluruhan? Bolehkah suatu penelitian ilmiah dijalankan dengan mengorbankan orang-orang di masa ini, tetapi memberikan kebahagiaan orang-orang di masa akan datang; atau membahagiakan orang-orang sekarang, tapi mengorbankan saudara-saudara kita di masa akan datang?.
Pertanyaan-pertanyaan di atas harus dijawab dengan melibatkan pertimbangan nilai dengan kata lain merujuk ke etika. Sejatinya, tidak ada kegiatan ilmuwan yang tidak didasarkan kepada etika tertentu. Bukankah etika ilmuwan mempunyai upaya ilmiah, ia didorong untuk tujuan-tujuan tertentu, mencari kebenaran, meningkatkan karir, memuliakan kehidupan, memelihara lingkungan, atau hanya sekedar mencari uang. Bila seorang ilmuwan memandang kebajikan tiggi ialah penemuan kebenaran ilmiah maka ia kan memilih masalah yang menarik baginya, walaupun mungkin masalah itu dapat menimbulkan bencana sosial.
2.      Etika dalam Penelitian Ilmiah
Ketika melakukan penelitian, ilmuwan harus memperhatikan prosedur penelitian yang dilakukannya. Kalau penelitiannya berkenaan dengan manusia maka apakah penelitian itu menimbulkan kerugian bagi subjek penelitian, apakah anomitas dan konfidensialitas mereka dijamin, apakah mereka ditipu atau dijebak untuk menjadi peserta penelitian. Paling tidak sebagai peneliti ilmiah, ia harus mempertahankan kejujuran, keterbukaan dan kesungguhan hati; menghindarkan manipulasi data (dalam arti negatif), pemalsuan informasi, dan lain-lain yang meruntuhkan arti sains itu sendiri (Rahmat, 1986: 164).
3.      Etika dalam Keputusan Ilmiah
Setelah penelitian selesai dilakukan, ilmuwan harus memutuskan apakah hipotesis ditolak atau diterima. Sejauh manakah kesalahan dapat ditolerir? Apakah dasar pertimbangannya?. Misal, suatu jenis obat akan dipasarkan. Untuk meneliti efek sampingnya, obat ini dicobakan dulu pada sapi. Bila lima persen dari sapi itu mati, karena keracunan obat, maka pakah kita harus menolak hipotesis nol yang menyatakan tidak ada pengaruh obat itu pada sapi, atau menerima hipotesis alternative yakni bahwa obat itu berpengaruh pada sapi.
4.      Etika dalam Penerapan Nilai
Ilmu terapan di sini dianggap sinonim dengan teknologi seperti yang dikemukakan Mario Bunge, bila tujuan upaya ilmiah itu semata-mata bersifat kognitif (menambah informasi) maka yang lahir ialah ilmu murni (pure science), bila tujuannya terutama sekali adalah hal-hal yang praktis, maka yang lahir adalah ilmu terapan (applied science).
Bagi Yacob (1988: 73) ada beberapa implikasi etis perkembangan teknologi, maka harus ada usaha-usaha yang strategic dalam mencegah degeneratif atau pengaruh negative teknologi, yaitu:

a.       Rehumanisasi
b.      Kemampuan memilih
c.       Arah perkembangan kemajuan
d.      Revitalisasi
Berkenaan dengan sains dan etik, Baiquni (1996: 145) mengingatkan bahwa mendidik seseorang untuk berlaku jujur jauh lebih sukar daripada mengajarnya untuk dapat melakukan perhitungan aljabar. Sebab, sekali ia tahu cara hitungnya ia akan mampu seterusnya, sedangkan orang yang jujur selalu mendapat godaan pada saat-saat tertentu untuk berlaku tidak jujur meskipun baginya jelas bahwa dorongan itu menjurus kea rah penyelewengan.   

Strategi Pengembangan Ilmu dan Kebudayaan

STRATEGI PENGEMBANGAN ILMU DAN KEBUDAYAAN
A.  Berbagai Pandangan Tentang Ilmu
Teori ilmu berasal dari beberapa cara yang kuat dari fakta tentang pengalaman diperoleh dari observasi dan pengalaman. Ilmu didasarkan atas apa yang dapat kita lihat, dengar, dan sentuh. Pendapat pribadi dimulai dari imajinasi spekulatif adalah tidak mempunyai tempat pada ilmu. Karena ilmu adalah objektif. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang terukur/andal, sebab ilmu secara objektif merupakan pengetahuan yang dibuktikan atau teruji (Chalmers, 1976).
Ada tiga alasan yang meyakinkan para induktivis, yaitu:
1)      Jumlah pernyataan observasi membentuk dasar dari generalisasi yang harus diperluas.
2)      Observasi harus diulang atas keragaman yang luas dari keadaan.
3)      Pernyataan observasi tidak diterima yang dipertentangkan dengan hokum universal yang diturunkan.

B.  Memantapkan Kedudukan Ilmu
Ada kecenderungan mendikotomo secara kejam antara induksi dan deduksi dalam penemuan teori atau hokum dalam kegiatan ilmiah. Menurut hemat penulis, dalam era pra positivistic peranan observasi yang berulang-ulang dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta terhadap fenomena alam sangat penting sebagai langkah awal untuk membangun struktur pengetahuan yang kemudian menjadi ilmu. Kasus-kasus dikumpulkan menjadi proposisi, kemudian dibangun hipotesis dan disimpulkan sebagai teori.
Belakangan berkembang pendekatan post-positivistik dalam pendekatan kualitatif dalam menggunakan logika induksi merupakan rangkaian dari perkembangan pengetahuan manusia menuju pengetahuan ilmiah. Pendekatan yang satu mendukung yang lain.
Filsafat ilmu bertujuan untuk mencari hakikat wujud ilmu. Kajian harus mencakup ontologi, epistimologi maupun aksiologi ilmu. Bagaimanapun, ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan metode ilmiah. Suatu kebenaran pengetahuan yang dibuktikan melalui fakta yang diperoleh dari pengamatan, pengalaman dan percobaan sehingga melahirkan teori atau hokum terteentu sesuai objeknya.
Pada pokonya pengetahuan ilmiah dimulai dari kegiatan logika induktif yang faktanya dikumpulkan dari berbagai kasus, penjelasan fakta dari pengalaman yang dijumlahkan menjadi satu proposisi menuju hipotesis dan teori atau hokum. Kemudian dilakukan pembuktian terhadap kebenaran teori, atau hokum dengan menggunakan logika deduktif yang mengkonfirmasikannya terhadap fakta-fakta dalam dimensi empiris manusia adlah proses selanjutnya dalam penemuan ilmu pengetahuan.
Sikap ilmiah para ilmuwan harus membuka diri bagi penerapan metodologi baru sepanjang sesuai dengan problem yang diajukan dalam mencari pemecahan masalah secara ilmiah melalui penelitiannya. Jika hal ini bisa dibangun, maka dimungkinkan akan muncul penelitian-penelitian cerdas dan bukan hanya pengulangan variabel memunculkan kejenuhan dan kegersangan karya ilmiah, meskipun replikasi dimungkinkan sebagai tangga bagi falsifikasi.
C.  Tanggung Jawab Kultural
Epistimologi berkaitan dengan kreativitas manusia dalam tataran budaya berpikir, termasuk metode dan proses serta apa yang dihasilkannya sebagai kebenaran. Bagi epistimologi, kriteria kebenaran muncul ketika dipahami bahwa diperoleh melalui teori koherensi dan korespondensi.
Sedangkan proses pembuktiaan secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu mempergunakan teori kebenaran yang disebut kebenaran pragmatis sebagaimana diajukan Charles S. Pierce (1839-1914). Bagi seorang pragmatis maka kebenaran atau pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
Filsaat ilmu merupakan kesadaran akan pengetahuan dalam setiap tindakan pengetahuan dalam refleksi mempertanggungjawabkan pengetahuan sebagai kebenaran ilmiah. Dalam mempertanggungjawabkan pengetahuan ada dua model pendekatan yang digunakan, yaitu: (1) manusia mendekati objek pengikniahan atau pengetahuan ilmiah sebagai abstraksi kenyataan, (2) mau mengerti terhadap susunan keniscayaan (kepastian).
Posisi epistimologi sangat menentukan dalam strategi kebudayaan, karena cabang filsafat ini membicarakan hakikat pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, syarat-syarat mememperoleh pengetahuan, kebenaran dan kepastian dalam pengetahuan serta hakikat kehendak dan kebebasan manusia dalam pengetahuan.epistimologi merupakan bagian dari kebudayaan yang berkaitan dengan sistem nilai (value system). Epistimologi berhubungan dengan kultur, dan pengetahuan menjadi bagian dari kebudayaan.
D.  Berpikir Ilmiah
Berpikir, sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu adalah sebagai suatu rangkaian aktivitas akal budi (rasio) manusia untuk mencapai kebenaran yang ril dan objektif (Kafie, 1989: 90). Dengan adanya rangkaian akal budi dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan itulah yang disebut berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah merupakan tahapan ketiga dari kerangka berpikir setelah kita berpikir biasa dan berpikir logis. Maka perlu ditegaskan bahwa pengetahuan ilmiah bukan pengetahuan yang datang sedemikian begitu saja sebagai barang yang sudah siap dan muncul dari dunia fantasi. Tetapi, pengetahuan ilmiah itu merupakan hasil proses belajar dan berpikir secara radikal terhadap sekumpulan pengetahuan-pengetahuan tertentu yang eleven dan sejenis yang universal dan kumulatif.
Langkah-langkah berpikir ilmiah:
1)      Objektif
a.       Metode inter subjektif (untuk semua orang yang berminat)
b.      Bebas dari sifat prasangka
c.       Pembuktian
d.      Kebenaran didukung oleh bukti-bukti nyata
e.       Bebas dari penilaian yang bersifat subjektif
2)      Rasional
a.       Diarahkan oleh peraturan-peratuan penalaran yang telah dianut dan diterima
b.      Susunan yang sistematis dari fakta-fakta (proses yang satu dengan yang lain dihubungkan oleh prinsip-prinsip penalaran logis)
c.       Kritik pribadi, menganalisis diri sendiri
d.      Skeptis terhadap ide-ide yang ada maupun tidak yang baru dan selalu meneliti kembali fakta-fakta yang telah diterima
3)      Sistematis
a.       Berlangsung dalam cara yang teratur, tidak acak-acakan atau asal jadi
b.      Kesimpulannya disusun secara rapid an teratur
c.       Tidak bertentangan tetapi konsisten internal/ beragam teori harus saling menunjang
4)      Generalisasi
Proses berpikir melalui penyelidikan atas fenomena-fenomena yang khusus dalam jumlah yang cukup banyak untuk menuju kepada suatu kesimpulan umum mengenai semua hal yang terlibat.

E.  Sikap Ilmiah
Sikap ilmiah harus dimiliki oleh para ilmuwan, karena sikap ilmiah ini merupakan suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Sikap adalah manifestasi operasionalisasi jiwa. Sikap ilmiah ini antara lain Nampak pada sikap, yaitu:
1)   Objektif
Sikap objektif ini diartikan sebagai sikap menyisihkan prasangka-prasangka pribadi (personal bias) atau kecenderungan yang tidak beralasan. Dengan kalimat lain, dapat melihat secara riil apa asanya mengenai kenyataan objek. Sikap objektif bias juga dikatakan kepada sikap tanpa pamrih. Sebab betapapun kecilnya pamrih yang tersertakan dalam suatu peninjauan tentu akan dapat memutar balikkan keadaan yang sebenarnya, bahkan menimbulkan arbitrarisme atau sliptisisme.
2)   Serba relatif
Ilmiah tidak mempunyai maksud untuk mencari kebenaran mutlak. Ilmu tidak mendasarkan kebenaran ilmiahnya atas beberapa postulat yang secara apriori dalam ilmu sering digunakan oleh teori-teori lain. Dan boleh dikatakan bahwa tujuan penelitian ilmiah itu adalah terutama untuk menggugurkan teori-teori sebelumnya yang sudah diterima. Sikap ini juga disebut sebagai sikap selektif dan sikap kritis.
3)   Skeptis
Sikap skeptis adalah selalu ragu terhadap pernyataan-pernyataan yang belum cukup kuat dasar bukti, fakta-fakta maupun persaksian-persaksian autoritas dengan diikuti sikap untuk dapat menyusun pemikiran-pemikiran baru. Atau sikap ini diartikan juga sebagai sikap tidak cepat puas dengan jawaban tunggal.
4)   Kesabaran Intelektual
Sikap ini juga diartikan sebagai sikap berani memperjuangkan kebenaran dan bahkan mempertahankannya disertai rasa percaya diri yang wajar (tanpa paksaan atau pesan dari sponsor), baik terhadap kebenaran yang berupa fakta, maupun kebenaran hasil penelitiannya sendiri atau kebenaran hasil karya orang lain. Sikap ini menimbulkan suatu kebulatan dalam cara berpikir dan bertindak dan menimbulkan konsistensi dalam menyatakan pendapat.

5)   Kesederhanaan
Sikap sederhana adalah sikap tengah-tengah antara kesombongan intelektual dan stagnasi atau antara superioritas dan minder atau antara terlalu optimis dan pesimistis. Termasuk sikap sederhana adalah sikap terbuka bagi semua kritikan, berjiwa besar dan lapang dada, tidak emotif atau egosentris, rendah hati dan tidak fanatic buta, tetapi penuh toleransi terhadap hal-hal yang diketahuinya maupun yang belum diketahuinya.

6)   Tidak Memihak pada Etik
Sikap tidak memihak pada etik dalam mempelajari ilmu maupun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, artinya bahwa ilmu itu tidak mempunyai tujuan untuk pada akhirnya membuat penilaian baik-buruk, karena hal itu adalah menjadi wewenang ilmu akhlak (etika) yang menyangkut cara bertingkah laku.
7)   Menjangkau Masa Depan
Sikap ini mendorong dirinya untuk selalu bersikap penasaran dalam mencari kebenaran dan tidak puas dengan apa yang ada padanya, juga tidak lekas berputus asa atau tidak kenal frustasi.

Metode Ilmiah dan Pengetahuan Ilmiah

METODE ILMIAH DAN PENGETAHUAN ILMIAH
A.  Penalaran
Dengan kemampuan menalar manusia dapat mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia keberadaan dan kekuasaan Tuhan. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan ini secara sungguh-sungguh. Manusia mengembangkan pengetahuan untuk mengatasi masalahdalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Menurut Suriasumantri (1985) ada dua hal yang menyebabkan manusia dapat mengembangkan pengetahuannya, yaitu: (1) manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi itu, (2) kemampuan berpikir menurut alur kerangka pikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir ini disebut penalaran. Artinya manusia memiliki kemampuan menalar objek yang diilhamnya.
Penalaran itu terjadi karena manusia merupakan makhluk berpikir, merasa, bersikap dan bertindak atas kebebasan moral yang dimilikinya. Penalaran adalah kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran. adapun ciri-ciri penalaran, yaitu:
1)      Penalaran adalah berpikir logis atau memiliki landasan logika. Berpikir logis diartikan sebagai berpikir menurut suatu pola tertentu atau menurut logika tertentu.
2)      Penalaran adalah berpikir analitik. Sedangkan berpikir analitis adalah mengurai unsur-unsur objek sesuai penalaran ilmiah.



B.  Karakteristik ilmiah
Ilmiah “scientific”, artinya berdasarkan ilmu pengetahuan. Ilmiah adalah bentuk kata sifat dari ilmu. Dengan demikian, ilmu berasal dari bahasa Arab, alima artinya tahu. Bahasa Inggrisnya yaitu science yang artinya juga tahu. Jadi baik ilmu maupun science menurut etimologinya berarti “pengetahuan” (Kafie, 1989: 85).
Objek pengetahuan adalah sesuatu yang diselidiki oleh subjek sebagai realitas yang dikenal, dialami, dan dicoba kemudian disadari dalam otak menjadi kesan ataupun kenangan (ppersepsi). Jadi, subjek mengetahui objek berdasarkan pencapaian indrawinya yang dapat direkam. Dapat dikatakan bahwa seluruh isi pikiran itu adalah pengetahuan.
Ada beberapa karakteristik suatu pekerjaan ilmiah. Cirri ilmiah dimaksud yaitu:
a.       Ada dasar pembenaran.
b.      Sistematik dan sistemik.
c.       Intersubjektivitas.
Untuk itu subjek ilmu disyaratkan paling tidak memiliki kecerdasan, kemampuan piker akali, kritis, dan pengetahuan luas untuk menyusun pengertian.
Filsafat ilmu merupakan kesadaran akan pengetahuan dalam setiap tindakan pengetahuan dalam refleksi mempertanggungjawabkan pengetahuan sebagai pengetahuan ilmiah. Dalam mempertanggungjawabkan pengetahuan ada dua model pendekatan yang digunakan, yaitu:
1.      Manusia mendekati objek pengilmiahan atau pengetahuan ilmiah sebagai abstraksi kenyataan.
2.      Mau mengerti terhadap susunan objek sedalam-dalamnya dari dalam objek itu sendiri sebagai susunan kenisyaan (kenyataan).
Filsafat dan ilmu merupakan pengetahuan yang berbasis pada semua makhluk yang ada dalam domain kognitif manusia.  Ilmu pengetahuan adalah semacam pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda dan syarat tertentu yaitu sistematik, rasional, empiris, umum dan kumulatif bahwa ilmu pengetahuan merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang distudinya dalam ruang dan waktu sejauh mana jangkauan pemikiran dan penginderaan manusia.