Sebagai ilmu yang terdiri dari
berbagai cabang dan macamnya, Ulumul Qur’an tidak lahir sekaligus. Ulumul
Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin ilmu melaui proses pertumbuhan dan
perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an
dari segi keberadaanya dan segi pemahamannya.
Di masa Rasul SAW dan para
shahabat, Ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri
dan tertulis. Para shahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan
struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul
dan bila menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat
menanyakan langsung kepada Rasul SAW.
Di zaman Khulafaur Rasyidin
sampai Dinasti Umayyah, wilayah islam bertambah luas sehingga terjadi pembaruan
antara orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan
demikian menimbulkan kekhawatiran shahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa
Arab, bahkan dikhawatirkan tentang bacaan Al-Qur’an yang menjadi sebuah standar
bacaan mereka. Untuk mencegah kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan
asli Al-Qur’an yang disebut dengan Mushaf Imam. Dan dari salinan inilah suatu dasar
Ulumul Qur’an disebut Al-Rasm Al-Utsmani.
Kemudian Ulumul Qur’an memasuki
masa pembukuannya pada abad ke-2 H. Para ulama’ memberikan prioritas perhatian
mereka terhadap ilmu tafsir karena fungsinya sebagai umm al-ulum
al-qur’aniyyah. Sampai saat ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern dalam
perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama’ masih memperhatikan akan ilmu Qur’an
ini. Sehingga tokoh-tokoh ahli tafsir (Qur’an) masih banyak hingga saat ini di
seluruh dunia.
No comments:
Post a Comment