ISTIHSAN DAN KEDUDUKANNYA
Definisi Istihsan
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari
al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri
kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya
lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah;
meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.”[1]
Adapun menurut istilah, Istihsan memiliki
banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:
1.
Mengeluarkan hukum suatu
masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain
karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.[2]
2.
Dalil yang terbetik dalam
diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.[3]
3.
Meninggalkan apa yang menjadi
konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.[4]
Kedudukan Argumentatif (Hujjiyah)
Istihsan Lintas Madzhab
Pendapat pertama, Istihsan dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan
hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.[6]
Dalil-dalil yang dijadikan pegangan
pendapat ini adalah sebagai berikut:
1.
Firman Allah
“Dan ikutilah oleh kalian apa yang
terbaik yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian.” (al-Zumar:55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan
kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah
wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum
wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.
2.
Firman
Allah:
“Dan berikanlah kabar gembira pada
hamba-hamba(Ku). (Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang
terbaik (dari)nya...” (al-Zumar:
17-18)
Ayat ini –menurut mereka- menegaskan
pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik,
dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh
Allah.
3. Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ
حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
“Apa yang dipandang kaum
muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik.”[7]
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh
kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini
menunjukkan kehujjahan Istihsan.
4.
Ijma’.
Mereka mengatakan bahwa para ulama telah
berijma’ dalam beberapa masalah yang dilandasi oleh Istihsan, seperti:
-
Bolehnya masuk ke dalam hammam[8] tanpa ada penetapan harga tertentu,
penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya.
-
Demikian pula dengan bolehnya
jual-beli al-Salam (pesan barang bayar di muka), padahal barang yang
dimaksudkan belum ada pada saat akad.
Pendapat kedua, Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam
berijtihad. Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah.[9]
Para pendukung pendapat ini melandaskan
pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:
1.
Bahwa syariat Islam itu
terdiri dari nash al-Qur’an, al-Sunnah atau apa yang dilandaskan pada keduanya.
Sementara Istihsan bukan salah dari hal tersebut. Karena itu ia sama
sekali tidak diperlukan dalam menetapkan sebuah hukum.
2.
Firman Allah:
“Wahai kaum beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada
Rasul serta ulil amri dari kalangan kalian. Dan jika
kalian berselisih dalam satu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul-Nya...” (al-Nisa’ :
59)
Ayat ini menunjukkan kewajiban
merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menyelesaikan suatu masalah, sementara
Istihsan tidak termasuk dalam upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dengan demikian, ia tidak dapat diterima.
3.
Jika seorang mujtahid
dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan akalnya atas dasar Istihsan dalam
masalah yang tidak memiliki dalil, maka tentu hal yang sama boleh dilakukan
oleh seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas daripada sang mujtahid. Dan hal
ini tidak dikatakan oleh siapapun, karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan
melakukan Istihsan dengan logikanya sendiri.
Jenis-jenis Istihsan
Para ulama yang mendukung penggunaan Istihsan
sebagai salah satu sumber penetapan hukum membagi Istihsan dalam
beberapa bagian berdasarkan 2 sudut pandang yang berbeda:
Pertama, berdasarkan dalil yang
melandasinya.
Dari sisi ini, Istihsan terbagi
menjadi 4 jenis:
1.
Istihsan dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan
hukum berdasarkan qiyas dalam suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang
ditetapkan oleh al-Qur’an atau al-Sunnah.
Diantara contohnya adalah:
hukum jual-beli al-salam. Yaitu menjual sesuatu yang telah jelas
sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad, dengan harga yang dibayar dimuka.
Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli yang umum ditetapkan oleh
Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya barang pada saat akad terjadi.
Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan berdasarkan sebuah hadits Nabi saw
yang pada saat datang ke Madinah menemukan penduduknya melakukan hal ini pada
buah untuk masa satu atau dua tahun. Maka beliau berkata:
“Barang siapa yang
melakukan (jual-beli) al-salaf[10], maka hendaklah melakukannya dalam
takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula.” (HR. Al-Bukhari no.
2085 dan Muslim no. 3010)
2.
Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya
sebuah ijma’ –baik yang sharih maupun sukuti- terhadap sebuah
hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
Di antara contohnya adalah
masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan
waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal ini tidak
dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan (al-jahalah) dalam waktu dan
kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain.
Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma yang
berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.[11]
3.
Istihsan dengan kedaruratan. Yaitu ketika seorang
mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia
meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
Salah satu contohnya adalah
ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang berpuasa tidak dapat dikatakan
telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari;
seperti debu dan asap. Maka jika benda-benda semacam ini masuk ke dalam
tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi batal
karena hal tersebut. Dan ini dilandaskan pada Istihsan dengan kondisi
darurat (sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyas
seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa,
maka itu membatalkan puasanya.[12]
2. ISTISHHAB
A.
Pengertian Istishhab
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta
dan tidak melepaskan sesuatu.[13] Jika seseorang mengatakan:
استصحبت الكتاب في سفري
maka itu artinya: aku membuat buku itu
ikut serta bersamaku dalam perjalananku.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih,
-sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini-
ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya
adalah:
1.
Definisi al-Asnawy (w. 772H)
yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum
terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah
berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya
perubahan (hukum tersebut).”[14]
2.
Sementara al-Qarafy (w. 486H) –seorang ulama Malikiyah- mendefinisikan istishhab
sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu
berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”[15]
Definisi ini menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya
adalah penetapan hukum suatu perkara –baik itu berupa hukum ataupun benda- di
masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku
sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau
mobil ini –entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan-, maka selama kita
tidak menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut,
kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil
tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah
melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau
nanti.[16]
B. Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ulama
dalam Kehujjiyahan Istishhab
Dalam menyikapi apakah istishhab dapat
dijadikan sebagai dalil dalam proses penetapan hukum, para ulama Ushul Fiqih
terbagi dalam 3 pendapat:
Pendapat pertama, bahwa istishhab adalah dalil (hujjah)
dalam penetapan ataupun penafian sebuah hukum. Pendapat ini didukung oleh
Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah, mayoritas ulama Syafi’iyah dan
sebagian Hanafiyah.
Diantara argumentasi mereka dalam mendukung
pendapat ini adalah:
1. Firman Allah:
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak
menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk
dimakan kecuali jika adalah bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging
babi...” (al-An’am:145)
Ayat ini –menurut mereka- menunjukkan bahwa
prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah hingga datangnya dalil yang
menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan dengan Firman Allah: “Katakanlah
(wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan...” . Pernyataan ini menunjukkan
bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku.[17]
2. Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang
dari kalian (dalam shalatnya) lalu mengatakan: ‘Engkau telah berhadats! Engkau
telah berhadats!’ Maka (jika demikian), janganlah ia meninggalkan shalatnya
hingga ia mendengarkan suara atau mencium bau.” (HR. Ahmad)
Dalam hadits ini, Rasulullah saw
memerintahkan kita untuk tetap memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai
mengerjakan shalat (yaitu dalam keadaan suci) bila syetan membisikkan keraguan
padanya bahwa wudhu’nya telah batal. Bahkan Rasulullah melarangnya untuk
meninggalkan shalatnya hingga menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal;
yaitu mendengar suara atau mencium bau. Dan inilah hakikat istishhab itu.
3. Ijma’.
Para pendukung pendapat ini menyatakan
bahwa ada beberapa masalah fiqih yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar
istishhab. Diantaranya adalah bahwa para ulama telah berijma’ bahwa jika
seseorang ragu apakah ia sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan
shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa
ia belum bersuci. Ini berbeda jika ragu apakah wudhu’nya sudah batal
atau belum, maka dalam kasus ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya
bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu belum batal.[18]
4. Dalil ‘aqli.
Diantara dalil ‘aqli atau logika yang
digunakan oleh pendukung pendapat ini adalah:
-
Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya faktor yang
menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan hukum tersebut sangat kuat
(al-zhann al-rajih). Dan dalam syariat Islam, sebuah dugaan kuat (al-zhann
al-rajih) adalah hujjah, maka dengan demikian istishhab adalah
hujjah pula.
- Disamping itu,
ketika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya atas keyakinan, maka
penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas keyakinan, berdasarkan kaidah al-yaqin
la yazulu/yuzalu bi al-syakk.
Pendapat kedua, bahwa istishhab tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah secara mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun
menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.[19]
Di antara dalil dan pegangan mereka adalah
1.
Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan
dalil. Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil adalah batil. Maka itu
berarti bahwa istishhab adalah sesuatu yang batil.
2.
Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan
apapun yang menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini adalah karena jika
seseorang boleh menetapkan suatu hukum atas dasar istishhab, maka yang
lain pun bisa saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan itu atas dasar istishhab
pula.
Pendapat ketiga, bahwa istishhab adalah hujjah pada
saat membantah orang yang memandang terjadinya perubahan hukum yang lalu –atau
yang dikenal dengan bara’ah al-dzimmah- dan tidak dapat sebagai hujjah
untuk menetapkan suatu hukum baru. Pendapat ini dipegangi oleh mayoritas ulama
Hanafiyah belakangan dan sebagian Malikiyah.[20]
Dalam hal ini yang menjadi alasan mereka
membedakan kedua hal ini adalah karena dalil syar’i hanya menetapkan hukum itu
di masa sebelumnya, dan itu tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk
menetapkan hukum baru di masa selanjutnya.
C. Jenis-jenis Istishhab
Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab
ini. Dan berikut ini akan disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
1.
Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang
menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa
mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama
tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-.
Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan
minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an
dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas.[21] Untuk yang semacam ini, para ulama berbeda pendapat dalam 3 madzhab:
Pendapat pertama, bahwa hukum asal segala sesuatu adalah
mubah, hingga adanya dalil yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini
dipegangi oleh Jumhur Mu’tazilah, sebagian ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan
Zhahiriyah.[22]
Dalil-dalil mereka antara lain adalah ayat-ayat
al-Qur’an yang zhahirnya menunjukkan bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu
mubah, seperti:
“Dia-lah yang
menciptakan untuk kalian segala sesuatu yang ada di bumi.” (al-Baqarah:29)
Ayat ini menunjukkan bahwa semua yang ada di bumi ini untuk dimanfaatkan oleh
manusia, dan hal itu tidak mungkin dimanfaatkan kecuali jika hukumnya mubah.
Juga firman-Nya:
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan
padaku sesuatu yang diharamkan kepada seseorang yang memakannya kecuali jika ia
berupa bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi...” (al-An’am:145)
Ayat
ini menunjukkan bahwa apa yang tidak disebutkan di dalamnya tidak diharamkan
karena tidak adanya dalil yang menunjukkan itu, dan itu semuanya karena hukum
asalnya adalah mubah.
Pendapat kedua, bahwa hukum asal sesuatu itu adalah haram,
hingga ada dalil syara’ yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini
dipegangi oleh sebagian Ahl al-Hadits dan Mu’tazilah Baghdad.[23]
Alasan mereka adalah karena yang berhak untuk
menetapkan syariat dan hukum adalah Allah saja. Maka jika kita membolehkan
sesuatu yang tidak ada nashnya, maka berarti kita telah melakukan apa yang
seharusnya menjadi hak prerogatif Sang pembuat syariat tanpa seizin-Nya. Dan
ini tidak dibenarkan sama sekali.
Pendapat ketiga, bahwa hukum asal segala sesuatu yang
bermanfaat adalah mubah, sementara yang membawa mudharat adalah haram. Pendapat
ini dipegangi oleh Jumhur ulama. Dan mereka menggunakan dalil pendapat yang
pertama untuk menguatkan bahwa hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah mubah,
dan dalil pendapat yang kedua untuk menegaskan bahwa hukum asal sesuatu yang
membawa mudharat adalah haram.[24]
Di samping itu, untuk menegaskan sisi kedua dari
pendapat ini, mereka juga berlandaskan pada hadits:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak ada kemudharatan dan tidak (boleh)
memberi mudharat (dalam Islam).” (HR. Ibnu Majah dan Al-Daraquthni
dengan sanad yang hasan).
2.
Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu
terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil
atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan
sesuatu.[25]
Sebagai contoh misalnya adalah bahwa kita tidak
diwajibkan untuk melakukan shalat fardhu yang keenam dalam sehari semalam
–setelah menunaikan shalat lima waktu-, karena tidak adanya dalil yang
membebankan hal itu.
Demikian pula -misalnya- jika ada seseorang yang
menuduh bahwa orang lain berhutang padanya, sementara ia tidak bisa
mendatangkan bukti terhadap tuduhan itu, maka orang yang tertuduh dalam hal ini
tetap berada dalam posisi bebas dari hutang atas dasar al-Bara’ah
al-Ashliyah ini.
3.
Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan
masalah yang masih diperselisihkan.[26]
Salah satu contohnya adalah bahwa para ulama telah
berijma’ akan batalnya shalat seorang yang bertayammum karena tidak menemukan
air saat ia menemukan air sebelum shalatnya.
Adapun jika ia melihat air pada saat sedang
mengerjakan shalatnya; apakah shalatnya juga batal atas dasar istishhab dengan
ijma’ tersebut, atau shalat tetap sah dan ia boleh tetap melanjutkannya?
Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama lain –seperti
al-Ghazaly dan Ibnu Qudamah- berpendapat bahwa dalam masalah ini istishhab dengan
ijma’ terdahulu tidak dapat dijadikan landasan, karena berbedanya kondisi yang
disebutkan dalam ijma’. Oleh sebab itu, ia harus berwudhu kembali.
Sementara Imam al-Syafi’i dan Abu Tsaur
berpendapat bahwa istishhab ijma’ ini dapat dijadikan sebagai hujjah
hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Oleh sebab itu, shalatnya tetap sah
atas dasar istishhab kondsi awalnya yaitu ketiadaan air untuk berwudhu.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Badai’ al-Shanai’ fi
Tartib al-Syarai’. Abu
Bakr ibn Mas’ud al-Kasany. Tahqiq: ‘Ali Muhammad Mu’awwadh dan ‘Adil ‘Abd
al-Maujud. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan pertama. 1418 H.
2.
Al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam. Muhammad ibn
Muhammad ibn Hazm al-Zhahiry. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. T.t.
3.
I’lam al-Muwaqqi’in ‘an
Rabb al-‘Alamin. Abu
Abdillah Muhammad ibn Abi Bakr ibn Qayyim al-Jauziyah. Dar al-Jail. Beirut.
T.t.
4.
Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq
al-Haq min ‘Ilm al-Ushul. Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukany. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan
pertama. 1414 H.
6.
Kasyf al-Asrar ‘an Ushul al-Bazdawy. ‘Ala
al-Din ibn ‘Abd al-‘Aziz ibn Ahmad al-Bukhary. Dar al-Kitab al-‘Araby. Beirut.
1394 H.
7.
Lisan al-‘Arab. Abu al-Fadhl Muhammad ibn
Mukrim ibn Manzhur. Dar Shadir. Beirut. Cetakan pertama. 1410 H.
8.
Al-Mughny. ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah. Maktabah
al-Riyadh al-Haditsah. T.t.
9.
Al-Mustashfa fi ‘Ilm
al-Ushul. Abu Hamid
Muhammad ibn Muhammad al-Ghazaly. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. 1417 H.
10. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Syathiby.
Tahqiq: Syekh ‘Abdullah Darraz. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. Cetakan
pertama. 1411 H.
11. Raudhah al-Nazhir wa Jannah al-Munazhir. Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn
Qudamah al-Maqdisy. Maktabah al-Rusyd. Riyadh. Cetakan pertama. 1416 H.
12. Al-Risalah. Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Idris al-Syafi’iy.
Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. T.t.
14. Al-Umm. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i. Dar al-Fikr.
Beirut. T.t.
15. Ushul Fiqh al-Muyassar. DR. Sya’ban Muhammad Isma’il. Dar al-Kitab
al-Jami’iy. Kairo. Cetakan pertama. 1415 H.
1.
Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd (al-Hafid). Dar
al-Salam. Kairo. Cetakan pertama. 1416 H.
2.
Al-Hidayah wa Syuruhuha. Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi Bakr al-Marghinany. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Beirut. Cetakan pertama. 1418 H.
3.
Ilm Ushul al-Fiqh. ‘Abd
al-Wahhab Khallaf. Dar al-Qalam. Kuwait. Cetakan keempat belas. 1401 H.
4.
Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul. Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukany. Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah. Beirut. Cetakan pertama. 1414 H.
5.
Al-Istidzkar al-Jami’ li Madzahib Fuqaha’ al-Amshar wa ‘Ulama al-Aqthar Fima
Tadhammanahu al-Muwaththa’ min Ma’ani al-Ra’y wa al-Atsar. Abu ‘Umar Yusuf ibn ‘Abdillah ibn ‘Abd
al-Barr al-Andalusy. Tahqiq: DR. ‘Abd al-Mu’thy Amin Qal’ajy. Dar Qutaibah.
Damaskus. Cetakan Kesepuluh. 1413 H.
6.
Kasyf al-Asrar ‘an Ushul al-Bazdawy. ‘Ala al-Din ibn ‘Abd al-‘Azis ibn Ahmad al-Bukhary. Dar al-Kitab al-‘Araby.
Beirut. 1394 H.
7.
Lisan al-‘Arab. Abu
al-Fadhl Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhur. Dar Shadir. Beirut. Cetakan pertama.
1410 H.
8.
Al-Majmu’ Syarah al- Muhadzdzab. Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawy. Tahqiq: Muhammad Najib
al-Muthi’iy. Maktabah al-Irsyad. Jeddah. T.t.
9.
Al-Mughny. ‘Abdullah ibn
Ahmad ibn Qudamah. Maktabah al-Riyadh al-Haditsah. T.t.
10.
Al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul. Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazaly. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Beirut. 1417 H.
11.
Nihayah al-Saul fi Syarh Minhaj al-Ushul. ‘Abd al-Rahim ibn Hasan al-Syafi’i al-Asnawy.
Al-Mathba’ah al-Salafiyah. Kairo. T.t.
12.
Syarh Tanqih al-Fushul fi ‘Ilm al-Ushul. Syihab al-Din Ahmad ibn Idris al-Qarafy. Tahqiq:
Thaha ‘Abd al-Ra’uf. Dar al-Fikr. Beirut. Cetakan pertama. 1393 H.
13.
Taisir al-Tahrir. Muhammad
Amir Badsyah. Dar al-Fikr. Beirut. T.t.
14.
Al-Umm. Muhammad ibn
Idris al-Syafi’i. Dar al-Fikr. Beirut. T.t.
15.
Ushul Fiqh. Prof. DR. H.
Amir Syarifuddin. PT. Logos Wacana Ilmu. Jakarta. Cetakan ketiga. 1426 H.
16.
Ushul Fiqh al-Muyassar. DR.
Sya’ban Muhammad Isma’il. Dar al-Kitab al-Jami’iy. Kairo. Cetakan pertama. 1415
H.
[2] Definisi ini
diterjemahkan secara bebas dari definisi Istihsan yang disebutkan oleh
al-Karkhy –salah seorang ulama Hanafiyah-, dan kemudian dipilih pula oleh Ibnu
Qudamah al-Hanbaly. Lih. Kasyf al-Asrar, 4/3. dan Raudhah al-Nazhir, 1/497.
[8] Hammam adalah semacam pemandian umum pada
waktu yang lalu, biasanya dilengkapi dengan fasilitas air hangat. (pen)
No comments:
Post a Comment